Posts Tagged ‘hati’

Al-Quran adalah kitab suci yang diwahyukan oleh Allah Tuhan seru sekalian alam sebagai panduan bagi umat manusia (bukan hanya umat Islam saja) agar bisa menggapai pucuk kebahagiaan yang hakiki, dan bukan sekedar kebahagiaan semu dan sesaat belaka seperti halnya kebahagiaan yang diklaim oleh kaum hedonis. walaupun banyak yang mengatakan bahwa kebahagiaan hakiki itu adalah kenikmatan surgawi, namun menurut saya (dengan diilhami oleh banyak kaum sufi), kebahagiaan yang sesungguhnya adalah kenikmatan tertinggi berupa bisa memandang Dzat Allah dengan mata telanjang di surga kelak (dengan mengesampingkan orang-orang yang berpendapat Allah tidak bisa dilihat dengan mata telanjang di surga).

(lebih…)

education.jpg

Sebagai pelajar, seringkali kita didoktrin agar giat dan rajin belajar. Mulai dari orang tua sampai guru, semuanya selalu saja menyuruh kita belajar dan belajar, yang tentunya belajar dalam konteks ini adalah dalam rangka mengasah akal dan logika. Padahal misi utama Islam bukanlah mencerdaskan akal manusia, melainkan mencerdaskan hati. Jadi, seharusnya kecerdasan hati-lah yang diutamakan dalam pendidikan, bukannya kecerdasan nalar. Banyak kita jumpai di sekitar kita orang yang cerdas dan berpendidikan, tapi kebiasaan sehari-harinya jauh dari standar moral yang utama. Dan untuk hal ini saya kira tidak perlu-lah mengajukan contoh dengan panjang lebar, karena tanpa repot menyelidiki, sudah banyak bertebaran manusia berjenis seperti ini.

Bukannya saya di sini menganggap kecerdasan akal tidak penting, tapi masih ada yang lebih penting lagi. Yaitu kecerdasan hati itu lagi. Karena tanpa dimilikinya kecerdasan akal, manusia tetap bisa menunjukkan kualitas eksistensinya dalam kehidupan. Sedangkan manusia tanpa kecerdasan hati, justru akan menjadi momok yang merusak ketertiban dan ketentraman lalu-lintas kehidupan manusia.

Jadi, sebenarnya dunia pendidikan kita sudah terjebak dalam kekeliruan yang telah membudaya (jawa: salah kaprah). Pendidikan kita terjebak karena lebih mementingkan hal yang sunnah-non substansial, yakni kecerdasan otak dan mengesampingkan hal yang wajib-substansial, yakni kecerdasan hati. Sehingga, akibatnya ya seperti kondisi negara kita sekarang ini. Dekadensi moral ada di mana-mana, dari rakyat jelata sampai pejabat-pejabat pemerintahan.

Dalam kasus ini, saya punya sampel cerita dari seorang kyai yang alim lagi kharismatik ketika mendidik anaknya agar lebih memprioritaskan akhlaq al-karimah daripada fokus hanya pada kecemerlangan otak. Beliau adalah KH. Jamaluddin Ahmad dan putranya yang bernama KH. Idris Jamaluddin .

Ketika masa-masa awal KH. Idris mondok di pesantren Lirboyo, Kediri , beliau KH. Idris sama sekali tidak pernah belajar. Sehingga ketika pembagian rapot, nilai-nilai yang tertera di rapot-pun jeleknya minta ampun. Sehingga akibatnya, KH. Idris harus naik kelas dengan syarat. Kalau performanya di kelas selanjutnya menunjukkan perkembangan, beliau bisa melanjutkan studi di kelas tersebut seperti biasa. Tapi kalau tidak menunjukkan peningkatan akademis, maka konsekuensinya adalah kembali ke kelas yang semula.

Kemudian ketika rapot tersebut diaturkan oleh KH. Idris kepada KH. Jamaluddin, respon yang ditunjukkan oleh KH. Jamaluddin sungguh mengagetkan. Bukannya KH. Jamaluddin memarahi KH. Idris, tapi malah berujar, “Tidak apa-apa kamu tidak belajar, yang penting kamu mau mondok itu sudah cukup”. Setelah mendapat respon yang tidak biasa seperti itu, KH. Idris mulai berpikir: wah, kalau saya mondok saja tapi tidak mau belajar, pasti nantinya saya akan benar-benar bodoh. Sehingga setelah itupun, KH. Idris mulai meninggalkan kebiasaan buruknya tersebut dan menjadi lebih giat belajar. Dan ternyata ketekunan beliau pun menuai hasil yang memuaskan, karena ketika pembagian rapot yang selanjutnya, nilai-nilai yang ditorehkan oleh KH. Idris didominasi oleh angka 9. Sangat kontras dengan nilai yang beliau dapatkan sebelumnya.

Dari kisah tersebut, kita bisa melihat bagaimana KH. Jamaluddin menanamkan kesadaran pada putranya, kalau prestasi akademis dan kecerdasan otak itu bukanlah segalanya. KH. Jamaluddin membebaskan putranya, mau belajar atau tidak belajar, itu terserah. Meskipun cara mendidik yang seperti ini mengandung resiko, yakni: iya kalau putranya sadar, seperti KH. Idris di atas. Tapi kalau tidak sadar, sang anak pasti akan terkurung dalam penjara kebodohan. Tapi di balik itu, tentunya KH. Jamaluddin sudah punya trik ampuh untuk menangkal resiko tersebut. Yaitu dengan doa. Doa agar anaknya diberi kesadaran mau belajar.

Wah, kok jadi melebar ke mana-mana ya? Tapi tidak apa-lah, kan masalah itu juga penting!

Oke, contoh di atas adalah contoh dari kurang-pentingnya kecemerlangan otak dari sudut pandang KH. Jamaluddin Ahmad. Kemudian untuk contoh patutnya pendidikan akhlaq al-karimah untuk dijadikan prioritas utama yaitu:

Suatu ketika, KH. Idris pulang dari pondok tanpa sowan (meminta izin) dari kyainya. Ketika KH. Jamaluddin mengetahui hal tersebut, sontak KH. Jamaluddin menyuruh KH. Idris untuk segera kembali ke pondok dengan diantar oleh abdi dalemnya.
Sesampai di pondok, KH. Idris Jamaluddin menangis tersedu-sedu karena beliau merasa tidak dianggap anak oleh abahnya. Tapi seiring berjalannya waktu, KH. Idris sadar kalau itu sebenarnya cara KH. Jamaluddin mendidik putranya untuk lebih menjaga dan mengutamakan tata-krama dan sopan-santun, di antaranya yaitu tata-krama kepada gurunya.

Hmmmhhh… Capek juga ngetik segini. Sudahlah, cukup segini saja.
Kesimpulannya, kita harus berbenah dari anggapan bahwa otak adalah segala-galanya, menjadi anggapan bahwa hati dan akhlaq al-karimah itu lebih utama. Gak usah muluk-muluk, yang penting mulai dari diri kita dulu! Mari!

Bukankah yang dinilai oleh Allah adalah hati dan kualitas ketaqwaan kita? Dan bukan kualitas kecerdasan otak kita.

Apa artinya cerdas, kalau prilakunya bejat dan tidak memperhatikan hak-hak makhluk lainnya?

Sekian, wallahu a’lam bish shawab ……

Posted by Wordmobi

KOMPAS.com — Peneliti dari Syracuse
University, Profesor Stephanie Ortigue,
menemukan, ada 12 area di otak yang bekerja
saat seseorang jatuh cinta. Kedua belas area
itu menghasilkan bahan kimia, seperti
dopamine, oxytocin, adrenalin, dan
vasopression, yang berujung pada euforia.
Rasa cinta juga memengaruhi fungsi psikologis, metafora, dan
penilaian fisik.
Jadi, cinta itu berasal dari hati atau otak? “Pertanyaan yang selalu
sulit dijawab. Saya berpendapat, asalnya dari otak,” kata Ortigue.
“Contohnya, suatu proses di otak kita bisa menstimulasi hati.
Beberapa perasaan dalam hati kita sebetulnya merupakan gejala
atas proses yang terjadi di otak.”
Penelitian lain menunjukkan, peningkatan jumlah darah dalam
faktor penumbuh untuk saraf yang memegang peranan penting
dalam cara orang bersosialisasi. Hal ini menghadirkan fenomena
yang disebut dengan “cinta pada pandangan pertama”. Hal ini
dikonfirmasi dengan temuan Ortigue yang menunjukkan bahwa
cinta bisa hadir dalam waktu seperlima detik.
Ortigue menjelaskan, dengan memahami cara orang jatuh cinta
dan putus cinta, para peneliti bisa mengembangkan terapi baru.
“Kita bisa mengerti penyakit putus cinta,” kata Ortigue.
Studi Ortigue juga mendapati ada bagian otak yang berbeda
untuk tipe cinta yang berbeda. Cinta tanpa syarat, contohnya
cinta seorang ibu terhadap anaknya, dipicu oleh aktivitas otak di
bagian umum dan di tempat yang berbeda-beda, termasuk otak
tengah. Cinta yang bergairah antar-kekasih melibatkan area
kognitif, bagian yang mengharapkan imbalan, dan penilaian fisik.
(National Geographic/Alex Pangestu)